Tulisan ini cocok untuk teman-teman yang memiliki paham bahwa hidup adalah sebuah ajang berkompetisi dan ajang pembuktian.
Sedari kecil, kita diajarkan untuk
jadi nomor satu, kita diajarkan untuk menjadi orang yang lebih. Lebih pintar, lebih bahagia, lebih kaya, lebih dari
segalanya dengan tujuan untuk menjadi orang yang paling: Paling berpendidikan, paling mampu, dan paling bisa. Kita
sampai lupa kalau ada kata cukup.
Bahagia pun sama, kita terlalu banyak mengatur standar dalam mencapainya.
“Jika semester ini IP-ku di di atas 3,70 maka aku baru akan merasa cukup.”
“Jika aku lebih tampan atau cantik, aku yakin hidupku akan jauh lebih mudah.”
"Jika saja aku masuk universitas A, aku pasti akan lebih diterima oleh keluargaku."
Sebetulnya, apa tujuan kita di
hidup ini? Mencari kepuasan dan menghindari penderitaan? Bukankah penderitaan tidak
akan pernah habis kita temui semenjak kita dilahirkan ke dunia? Pertanyaan
selanjutnya, apa yang sebetulnya membuat kita puas? Kalimat Jika-maka apa lagi yang membuatmu sulit tidur tiap malam? “Bermimpilah
setinggi langit,” kata mereka. “Karena jika tidak mencapai langit, setidaknya
kita jatuh di antara bintang-bintang.” Peribahasa ini bagiku mengabaikan
hakikat bahwa ada banyak sekali hal
yang tidak bisa manusia kendalikan.
Selain lupa dengan kata cukup, kita juga lupa kalau kita itu terbatas.
Namun, bukan berarti memiliki angan adalah
sebuah larangan, manusia memang makhluk unik karena memiliki kemampuan untuk berimajinasi
dan memvisualisasikan hal-hal yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kita
bisa senyum-senyum sendiri kalau membayangkan kehidupan yang lebih baik, yang
lebih romantis, yang lebih sejahtera. Kita bisa berkhayal dan melupakan sejenak
realita yang selalu kita anggap kurang memuaskan.
Ketidakpuasan yang kita rasakan,
pada akhirnya akan melahirkan penderitaan. Perasaan menderita menuntut kita
untuk memenuhi sesuatu yang selama ini kita idam-idamkan. Padahal setelah satu keinginan
terpenuhi, hal itu tidak akan menghentikan ingin-ingin kita yang selanjutnya.
Faktanya, manusia memang diciptakan terbatas, namun kita diajarkan untuk hidup dan
berkeinginan yang melampaui batas. “Jika ada keinginan, maka ada jalan,”
katanya. Mengingat bahwa kita tidak bisa mengendalikan segala hal, kiranya aman
untuk mengatakan bahwa memang tidak semua keinginan menyediakan jalan.
Contoh: Kematian adalah hal yang
tidak bisa kita hindari, apalagi kendalikan. Jika kamu memiliki keinginan agar eksistensimu
di dunia ini abadi, menurutmu akankah ada jalan yang mengantarmu sampai
pemenuhan keinginan itu? Aku percaya diri untuk mengatakan tidak.
Konsumerisme yang saat ini
memperdaya manusia dengan senjata mutakhir yang kita sebut ‘ketakutan’ telah sukses membuat
kita semakin jijik untuk hidup apa adanya dan berkecukupan. Kita diajarkan untuk takut akan
kerut wajah akibat penuaan, larislah produk kulit anti-aging. Kita diajarkan untuk takut gagal, sehingga
seminar-seminar sukses: Sukses sebelum usia 30, sukses menjadi juara 1 di
sekolah, sukses membangun rumah tangga, dan lain sebagainya sampai saat ini
masih banyak peminatnya. Seolah-olah kegagalan itu tidak wajar dialami oleh
manusia—yang pada dasarnya memang memiliki keterbatasan.
Padahal kalau dipikir-pikir, di
tengah carut-marutnya dunia dengan kondisi yang aku definisikan sebagai ajang
kompetisi bertahan hidup dengan organisme mikroskopik bersifat parasit ini,
sejatinya mampu bertahan hidup itu sudah sangat hebat.
Persetan dengan glorifikasi kerja keras dan mengelu-elukan tentang menjadi orang nomor
satu di tengah pandemi seperti ini. Persetan
dengan produktivitas kalau kamu masih bekerja sampai jam satu pagi. Kamu tidak
hanya berkontribusi untuk orang lain, namun juga berkontribusi untuk merusak
diri sendiri.
Ketika kamu sampai pada
paragraf ini, aku ingin melafalkan kalimat ini bersamamu:
"Aku memiliki batas. Artinya, ada kemungkinan bahwa tidak
semua keinginan besar dalam hidup ini bisa aku capai, dan aku baik-baik saja dengan
hal itu. Faktanya, apa yang sudah aku lakukan selama ini dalam hidup sudah
lebih dari cukup. Faktanya, aku sudah lebih dari cukup."
P/S: Aku tidak ingin tulisanku ini pada akhirnya diinterpretasi sebagai toxic positivity, di mana kalian tidak boleh bermimpi tinggi-tinggi atau tidak boleh merasa menderita di hidup ini. Maka dengan tingkat kesadaran penuh ingin menyalin apa yang pernah dikatakan oleh Friedrich Nietzsche:
"To live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering."
Nietzsche mengkritik orang-orang yang ingin terbebas dari penderitaan, karena pada dasarnya kita memang hidup untuk menderita, dan bertahan hidup adalah tentang menemukan makna dari setiap penderitaan itu.
Nietzsche dulu pernah mengalami hal yang sama dengan kita, ada banyak hal yang ia sesali dalam hidup dan ia pernah ada di titik di mana ia sangat menginginkan kehidupan yang betul-betul berbeda. Ia berusaha untuk dapat mengubah masa lalu karena penderitaan yang ia alami. Namun sebagian besar harapan yang ia impikan malah berakhir sebaliknya.
Pengalaman-pengalaman buruk dalam hidup Nietzsche membawanya pada kontemplasi yang menghasilkan konsep Amor Fati: The love of one's fate.
Secara singkat, konsep ini adalah tentang mencintai takdir kita sendiri; menerima setiap pengalaman baik dan buruk, setiap peristiwa yang benar dan salah, dan setiap hal yang mengagumkan dan menjijikan dalam hidup ini sebagai satu kesatuan. Setelah semua penyesalan yang ia rasakan dalam hidupnya, ia berakhir dengan menerima takdir hidup secara keseluruhan dan dengan antusias.
💓
Ah, sudah jam 12 malam (ya, tadi aku memarahi diri sendiri karena masih saja merusak diri, jangan ditiru! Aku akan memperbaiki jam tidurku). Karena aku
bercerita cukup singkat, maka aku ingin bercerita lagi tentang mengapa aku melahirkan
tulisan ini.
Hari ini aku menonton film Sokola
Rimba (2013) yang disutradarai oleh Riri Riza. Film yang diangkat dari buku bertajuk
sama serta pengalaman dari penulis ini membuka wawasanku tentang Orang Rimba. Film
ini mengajariku bahwa Orang Rimba sesungguhnya lebih maju daripada kita dalam
berbagai aspek kehidupan. Mereka sangat terpelajar dalam keterampilan bertahan
hidup dan juga hal yang dewasa ini sedang panas-panasnya dibicarakan: menjaga
alam dan keseimbangan biodiversitasnya. Namun karena Orang Rimba pada saat itu
belum melek aksara, mereka sering diperdaya oleh ‘orang kota’ untuk
menandatangani surat persetujuan dengan cap jempol sebagai 'izin' untuk menghabisi pohon-pohon
di hutan tersebut, di tempat mereka hidup.
Butet Manurung bersama lima orang
temannya mendirikan Sokola Rimba dengan tujuan berpetualang sambil menyebarkan
manfaat bagi para penghuni Rimba. Perjalanan yang harus ia tempuh untuk
mendirikan Sokola tidaklah mudah. Penuh tantangan, melelahkan, namun menyenangkan dan menuai hasil yang
sepadan.
Tidak hanya ditunjukan bahwa selain maju dalam keterampilan bertahan hidup serta menjaga hutan dan alam, Orang Rimba juga mengajariku tentang pentingnya mengetahui hal yang betul-betul kita butuhkan dalam hidup dan menyederhanakan definisi cukup.
"Bagi Orang Rimba, hidup mewah adalah ketika semua orang cukup. Jika yang cukup hanyalah kita dan orang lain tidak, maka itu bukan hidup mewah, tapi serakah." - Butet Manurung.
Gambar ini aku screenshot dari film Sokola Rimba yang aku akses di Netflix. |
Akhirnya bisa baca blog, suka bgt sm tulisan ini. Aku lagi sering lupa kata “cukup”👀
BalasHapusaaa i'm so glad you like this one! Aku jg tadinya lupa, tapi karna ada notif kamu komen di post ini jadi inget lagi :') xoxo
Hapus