Halo semua! Senang bertemu kalian
lagi melalui blog ini, senang rasanya kembali bercerita di sini. Aku mencoba
untuk tetap membuat blog ini ‘hidup’ setelah postingan terakhirku beberapa
bulan yang lalu tentang cara untuk tetap waras di masa pandemi.
Dua hingga lima tahun yang lalu,
aku masih menulis dengan kepercayaan diri yang tinggi dan intensi yang rendah
untuk menebar manfaat. Dalam kata lain, aku hanya menggunakan blog sebagai
media untuk mencurahkan isi hati. Aku cukup menyesal dengan konten-konten yang
aku unggah di sini. Namun di saat yang sama, aku juga berterima kasih dengan
diriku yang dulu, karena jika aku tidak pernah menulis, maka aku tidak punya
media lain untuk belajar dari diriku yang dulu, atau menilai seberapa jauh aku
sudah berkembang—setidaknya dalam hal tulis-menulis.
Sebelum lanjut, aku ingin menegaskan bahwa tulisan ini sifatnya subjektif dan personal. Melalui tulisan ini, aku ingin berbagi perspektif tentang hal-hal yang aku pelajari dari diriku di masa lalu, serta hal-hal yang aku sadari di umurku yang sudah 20 tahun ini. Semata-mata sebagai bahan refleksi diri untuk diriku di masa depan. Untuk kamu yang sedang baca, semoga tulisan ini juga bisa memberi pencerahan atau sekadar menjadi bahan renungan.
1) Tidak semua hal harus segera diberi reaksi.
Dulu aku pernah sakit hati karena
penampilan fisikku di-bully sejak SMP
sampai SMA, lalu aku mengunggah tulisan di blog ini yang kontennya terdiri dari
90% kekesalan dan 10% justifikasi atas kekesalan itu sendiri. Selain itu, aku
juga pernah jatuh cinta dan kemudian patah hati, kemudian aku mengunggah dua
postingan yang kontennya betul-betul menyindir seseorang secara spesifik dan personal.
Sungguh sebuah tindakan yang pasif-agresif. Sekitar satu tahun kemudian ketika
aku sudah lulus SMA dan masuk kuliah, aku membaca ulang tulisan-tulisan itu.
Aku bisa merasakan emosi-emosi yang aku rasakan dulu saat aku menulisnya. Aku
sadar bahwa aku terlalu cepat bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tidak
menyenangkan yang baru saja terjadi padaku. Tidak hanya di blog, dulu aku hobi
mengetwit apapun yang lewat dipikiranku, seolah-olah tidak ada orang yang
membaca dan barangkali merasa tersinggung oleh cuitanku di Twitter.
Ketika ada rangsangan atau stimuli, memang wajar kalau kita bereaksi. Misalnya ketika kelingking kakimu tidak sengaja menabrak kaki meja, kamu akan langsung merasa sakit dan mungkin diikuti dengan teriakan atau ringis kesakitan. Hal itu refleks terjadi. Sama halnya ketika ada peristiwa-peristiwa tertentu di hidup, misalnya ketika aku diteriaki “bodoh” oleh seorang guru biologi di depan teman sekelasku, rasa malu, sedih, dan kesal adalah reaksi emosiku yang muncul dan tidak bisa kukendalikan, namun kabar baiknya adalah kita masih bisa mengendalikan tindakan kita. Saat guru biologiku betul-betul berteriak “bodoh” tepat di depan wajahku, yang aku lakukan saat itu hanyalah tersenyum kecil dan mencoba memasang ekspresi bahwa aku ini baik-baik saja. Aku tidak langsung menampar guruku karena kesal, atau lari ke luar kelas karena malu, atau bahkan menangis karena sedih.
Source: Giphy.com |
Ketika menulis tentang patah
hati, pada waktu itu aku belum sadar bahwa bisa saja aku menyakiti hati orang
yang aku singgung di tulisan tersebut. Aku hanya ingin memenuhi egoku dan tidak
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi jika aku
mengunggah tulisan itu (salah satunya membuat diriku dua tahun kemudian
menyesal).
Hal yang aku pelajari dari peristiwa-peristiwa ini adalah ketika mengambil tindakan dari suatu reaksi, aku perlu berhati-hati, dalam hal apapun itu.
2) Kita tidak bisa mengendalikan orang lain, masa lalu, cuaca, kesehatan, dan hal-hal di luar diri kita.
Menyambung dari poin sebelumnya
tentang mengendalikan tindakan dari suatu reaksi, penting juga untuk menyadari
tentang hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan dalam hidup ini.
Hanya karena aku menulis tentang
bagaimana bullying itu bisa membuat
hidup orang menderita, bukan berarti aku bisa mengendalikan orang yang membaca agar
kemudian sadar diri lalu berhenti mem-bully
aku atau orang lain. Tentu kita masih bisa mengusahakan agar orang lain
mematuhi kehendak kita, misalnya dengan kekuasaan, aturan, dan hukuman. Namun
secara fundamental, persepsi, perasaan, dan tindakan orang lain itu berada di luar kendali kita.
Oh ya sebelum lanjut, aku belajar
tentang dikotomi kendali (mana hal yang bisa kita kendalikan dan mana yang
tidak) lewat buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring. Buku ini
menurutku bacaan wajib untuk kita. Bahasa yang digunakan ringan, mudah
dipahami, dan sungguh insightful.
Sangat cocok untuk kamu yang masih bertanya-tanya mengapa dunia ini tidak adil,
mengapa aku harus terlahir, mengapa gebetanku tidak peka-peka, mengapa uangku
cepat habis, dan pertanyaan mengapa lainnya.
I didn't take a picture of the cover so here's a sneak peek. |
Karena pada akhirnya aku
menyadari bahwa aku tidak bisa mengendalikan orang lain untuk tidak
menyakitiku, atau mengendalikan cuaca agar senin pagi hujan sehingga tidak
upacara, atau mengendalikan diriku supaya tidak jatuh sakit di hari tertentu,
aku jadi lebih santai menjalani hidup. Rasa kesal mungkin ada, terlebih
ketika ada urusan penting, misalnya sinyal mendadak hilang saat ujian online
atau jalanan macet ketika harus buru-buru. Namun demi janggut merlin, kita
tidak bisa menumbuhkan sayap secara tiba-tiba dan terbang ke tempat tujuan, jika kita marah di
tengah kemacetan, jalanan itu akan tetap saja macet, kan? Jadi terima saja
dengan ikhlas. Atau, bagaimana jika kita melakukan hal yang membuat kekesalan
kita mereda? Misalnya memutar lagu dan bernyanyi ria.
To have less expectations toward anything beyond my control is to face less disappointments in life, or at least the disappointments are all bearable.
3) Sungguh, menolak dan berkata tidak itu tidak apa-apa.
Belakangan ini aku dengar istilah
people’s pleaser. Menurut Pagoto
(2012) dalam artikelnya yang berjudul “Are You A People’s Pleaser?” yang dilansir dari Psychology Today, people’s pleaser adalah orang-orang yang
selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain dengan tidak pernah berkata
‘tidak’. Mereka adalah orang-orang yang siap membantu kapanpun kita minta tanpa
pernah menolak, selalu mengiyakan dan menyetujui pendapat kita, dan kita pun
selalu bisa mengandalkan mereka di segala hal. Dulu aku adalah people’s pleaser. Aku selalu mencoba
menuruti apapun yang orang lain minta. Jika sedang berdiskusi dan aku menyampaikan pendapat, kemudian teman-temanku tidak menyetujuinya, aku tidak berusaha mempertahankan pendapatku. Aku bahkan memasang wajah seolah-olah pendapatku salah dan lebih memercayai pendapat temanku, meski aku tahu betul bahwa hal yang ia bicarakan tidak benar. Alasannya sederhana, karena aku ingin
diterima oleh mereka. Dalam kata lain, aku takut jika aku menolak permintaan
mereka, mereka berhenti berteman denganku. Apakah kamu mempunyai teman seperti
itu? Atau, jangan-jangan kamu adalah si people’s
pleaser ini?
People’s pleaser akan berusaha sebisa mungkin untuk menempatkan
kepentingan orang lain di atas dirinya. Tapi, kenapa ya ada orang ‘sebaik’ itu?
Ada 2 kemungkinan:
1) Takut akan penolakan (fear of rejection)
Ketakutan akan ditolak oleh orang lain bisa berasal dari pengalaman hubungan interpersonal terdahulu, di mana kita pernah ditolak atau diabaikan oleh seseorang yang berarti di hidup kita (misalnya orangtua, saudara, teman) akibat sesuatu yang telah kita perbuat. Karena rasa diabaikan dan ditolak itu ngga enak, kita jadi punya mekanisme buat mengantisipasi rasa ngga enak itu. Salah satu caranya adalah selalu berusaha untuk membuat orang lain senang. Secara tidak langsung kita akan merasa punya tanggung jawab atas kebahagiaan orang lain, padahal seperti yang sudah kubahas tadi, kita tidak bisa mengendalikan perasaan atau penilaian orang lain terhadap kita.
2) Takut akan kegagalan (fear of failure)
Gagal dalam hal apa? Yang dimaksud gagal di sini adalah gagal membuat orang lain senang (dalam kata lain: takut mengecewakan mereka) dan/atau takut dihukum. Orangtua yang terlalu sering mengkritik perilaku atau menghukum anaknya, apalagi secara kasar dan bahkan untuk kesalahan kecil, cenderung dapat membuat anak tumbuh dengan mentalitas people’s pleaser. Selain itu juga bisa membuat seseorang punya kecemasan yang signifikan ketika berurusan dengan suatu pekerjaan. Untuk mengatasi kecemasan itu, people’s pleaser akan berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lagi-lagi: membuat orang lain senang.
Source: https://thecooperreview.com |
Kenapa mentalitas people’s pleaser ini berbahaya? Aku akan mencantumkan 3 dari 5 konsekuensi buruk jika kita menjadi seorang people’s pleaser menurut Pagoto (2012) dari artikel yang sama:
a. Mengabaikan diri sendiri
Hal ini sudah tentu dialami oleh people’s pleaser karena ia selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya. Padahal memperdulikan diri sendiri adalah hal yang esensial untuk tetap ‘waras’. Ada sebuah teori yang disebut masker oksigen, teori itu bilang bahwa ketika tekanan udara di pesawat hilang, maka kamu harus menggunakan masker oksigenmu terlebih dahulu sebelum membantu orang lain. Jika tidak, kamu tidak akan bisa menolong siapapun termasuk dirimu sendiri. Pastikan bahwa dirimu sudah aman sebelum mencoba menolong orang lain.
b. Pasif agresif dan/atau pendendam.
Menyenangkan orang lain setiap
saat memang membuat people’s pleaser
merasa aman. Karena itulah people’s
pleaser tidak pernah mengekspresikan amarahnya terhadap orang lain,
meskipun di dalam hati mereka kecewa, marah, atau sedih dengan perkataan atau
perbuatan orang itu. Inilah yang aku lakukan ketika orang lain menghina
penampilanku. Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan mereka, tetapi aku
menumpahkan kekesalan lewat tulisan yang dipublikasikan, di mana pada waktu itu
aku cukup berharap mereka akan membacanya lalu sadar diri, atau bahkan meminta
maaf padaku.
Pasif agresif adalah sebuah
tindakan di mana seseorang tidak secara langsung mengekspresikan
perasaan-perasaan negatifnya. Mereka tidak aktif dan asertif—tidak ingin
membicarakan kemarahan, kesedihan, kekecewaan, atau emosi negatif lainnya
secara terbuka dengan orang yang bersangkutan. Menyimpan rasa dendam akan
membuat suatu hubungan semakin buruk.
Dengan ini, aku yang sudah berusia 20 tahun mengakui bahwa dulu aku adalah orang yang pasif agresif dan itu cukup ekstrim. Namun berbekal optimisme dan kepercayaan bahwa setiap manusia bisa berubah jika ada kemauan, maka dengan ini pula aku belajar untuk mengungkapkan secara terbuka dan jujur tentang apapun yang aku rasakan daripada memendamnya. To whoever my victims were, I am so sorry.
I’m willing to learn and try and fail and try again and learn something from it.
c. Dimanfaatkan oleh orang lain
Karena orang-orang tahu kalau kamu selalu bilang ya dan tidak akan pernah mengecewakan mereka, secara tidak sadar kamu sudah memberitahu mereka bahwa kamu tidak punya batasan terhadap dirimu sendiri dalam hal seberapa berat atau seberapa banyak bantuan yang bisa kamu berikan. Kamu mungkin lelah namun kamu tidak akan memberitahu mereka karena kamu akan merasa bersalah. Ya, people’s pleaser mudah merasa bersalah bahkan terhadap hal-hal yang tidak mereka lakukan.
Intinya, kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang, seberapa besarpun usaha yang kita kerahkan. Jadi mulai sekarang, yuk mulai berikan orang lain batasan tentang kemampuan dan kesediaanmu dalam membantu mereka.
And yes I’m speaking to myself.
I think that’s it.
Inilah beberapa dari sekian banyak hal yang aku pelajari dalam hidup ini, this is an endless journey of realizing things that we’ve been doing wrong the whole time of our lives.
Jumpa lagi di tulisan berikutnya!
0 Komentar