Setelah terdistraksi oleh TikTok,
Instagram, dan kegiatan lembaga, akhirnya buku ini selesai kubaca dalam waktu
dua hari. Setelah sekian bulan lamanya kehilangan kepercayaan diri, aku pun kini
mulai menulis kembali.
Awalnya, aku tertarik dengan buku ini
karena setelah menjelajahi linimasa Twitter pada bulan agustus lalu, aku
menemukan satu utas dari dr. Jiemi Ardian yang berbicara tentang distimia.
Sumber: Akun Twitter dr. Jiemi Ardian |
Di tengah utasnya, dr. Jiemi mengenalkan
buku ini. Akhirnya, aku baru membeli bukunya dua hari yang lalu dan langsung kubaca.
(Telat banget, tapi gapapa).
I
Want To Die, but I Want To Eat Tteokpokki.
Buku yang ditulis oleh Baek Se Hee ini judulnya
bikin geregetan, ya. Pengen mati kok mikirin
tteokpokki? Sebetulnya, ini buku apa, sih?
Secara garis besar, buku ini berisikan
percakapan antara penulis yang menderita distimia dan psikiaternya. Setiap sesi
pertemuan yang ditutup dengan pemikiran penulis terhadap dirinya, dirangkai
secara apik dalam bab-bab dengan tajuk menarik (dan sekaligus bikin kita
mengernyitkan dahi dan bertanya dalam hati, “Si
Baek Se Hee kenapa lagi, nih?”).
Tentang apa itu distimia, aku cantumkan utas dari dr. Jiemi Ardian di sini, ya.
Sinopsis
singkat.
Baek Se Hee (28) adalah seorang karyawan
di sebuah penerbit di Seoul, Korea Selatan. Ia telah menderita distimia selama
sepuluh tahun dan pada tahun 2017 lalu, Se Hee sedang menjalani perawatan
dengan psikiaternya. Ketika membaca buku ini, aku seperti sedang menonton
proses konsultasi pasien dengan seorang psikiater. Baek Se Hee merekam tiap
sesi yang ia jalani untuk didengarkan kembali. Berharap dengan itu ia dapat
lebih mengenal dan memahami dirinya sendiri.
Beberapa kondisi yang dialami Baek Se
Hee akan aku kupas di bawah ini. Ayo, langsung saja:
1) Terlalu
menyalahkan diri sendiri.
Tumbuh sebagai seorang introver dan
pemalu, kurasa berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan yang
dialami Baek Se Hee di masa lalu. Ia menyimpan banyak kenangan buruk dalam
memorinya, dan kenangan itu selalu menghantui Se Hee sampai ia dewasa. Sejak
kecil, ibunya selalu mengatakan bahwa mereka adalah keluarga yang miskin dan
tidak punya uang. Kalimat serupa menciutkan kepercayaan diri Se Hee. Memiliki
teman sebaya yang suka mengomentari fisiknya memengaruhi cara Se Hee memandang
dirinya. Ingatan masa kecilnya akan ayah yang abusif dan keluarga yang ‘berantakan’
menciptakan kesedihan yang tidak berujung.
“Aku
memiliki obsesi bahwa aku harus merasa simpati pada orang lain. Maka, jika ada
orang yang menceritakan sesuatu kepadaku, aku cenderung berbohong dan
mengatakan bahwa aku pernah mengalami hal yang sama. Begitu juga ketika aku
ingin menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarku, aku cenderung
mengatakan kebohongan. Namun, secara bersamaan, aku menyalahkan diriku sendiri.” – Baek Se Hee (2018).
Berdasarkan teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, struktur
kepribadian seseorang terbagi menjadi tiga:
- Id: Dorongan, nafsu, dan kebutuhan manusia (misalnya rasa lapar, haus, libido, atau bahkan keinginan untuk memukul wajah orang yang menyebalkan).
- Superego: Nilai atau standar moral yang dipelajari seseorang (misalnya kepercayaan bahwa mencuri atau menyakiti adalah tindakan yang tidak terpuji).
- Ego: Si pembuat keputusan atas tindakan seseorang. (misalnya ego-mu ingin makan buah alpukat dari pohon milik orang yang tidak kamu ketahui, dan superego-mu tidak ingin kamu mencuri, maka id-mu yang memutuskan apakah kamu harus menahan keinginan makan alpukat, mencuri buah tersebut, atau berkenalan dengan sang pemilik dan meminta secara baik-baik).
Pada kasus ini, Baek Se Hee digambarkan
oleh psikiaternya sebagai orang yang superego-nya sangat kuat. Ketika merasa
kesulitan oleh pekerjaan yang diberikan oleh ketua timnya, Se Hee hanya
memendamnya sendiri, karena jika ia mengatakan hal itu pada ketua timnya, maka pikirnya
si ketua tim akan merasa kesulitan juga. Ia tidak ingin merepotkan orang lain dan pada akhirnya menyalahkan diri sendiri. Ketika ia tidak
nyaman dengan orang yang berisik di bus, ia merasa harus menegur orang tersebut
karena telah membuat dirinya dan orang lain di bus merasa tak nyaman. Se Hee
merasa bertanggung jawab atas hal itu, sehingga apabila ia tidak menegur orang
berisik tersebut, ia akan merasa sangat bersalah.
Setiap ia merasa bersalah, ia merasa
pantas untuk menghukum dirinya sendiri, walau ia sendiri tidak menyadari. Hal
tersebut membuatnya tenang untuk sesaat, namun lama-lama ia juga merasa
tersiksa.
Berkaitan dengan distimia, kondisi ini disebut personalization. Pola pikir seperti ini membuat seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah salahnya. Orang lain merasa kesulitan karena salah kita. Orang lain menjauhi karena salah kita. Intinya, apapun yang terjadi adalah kesalahan kita. Kira-kira begitu.
2) Menetapkan
standar terlalu tinggi untuk diri sendiri.
“Setiap
aku selesai melakukan sesuatu, hal yang kulakukan terasa seperti sesuatu yang
tidak berarti.” – Baek Se
Hee (2018).
Sedari awal, Baek Se Hee menyuguhkan
ketidakpuasan yang ia alami selama hidupnya. Mulai dari berat badan, masalah
universitas, percintaan, dan pertemanan menjadi sesuatu yang ingin ia ubah.
Namun ketika ia telah mampu mencapai berat badan yang ia inginkan, melanjutkan
ke universitas, dan hubungan pertemanan maupun percintaan yang baik, ia tetap
merasa cemas. Menurut psikiater yang menanganinya, Se Hee memiliki standar
ideal yang sangat tinggi—dan sulit
dicapai—oleh dirinya.
Dalam artikelnya yang berjudul How We Judge Others is How We Judge Ourselves, Mark Manson mengatakan bahwa seseorang cenderung menilai orang
lain berdasarkan bagaimana ia menilai dirinya sendiri. Jika dikaitkan dengan
buku, Baek Se Hee yang merupakan seorang lulusan dari jurusan sastra, mengukur
dirinya berdasarkan kemahiran dalam bidang tulis menulis, diskusi, dan
sebagainya. Secara tidak sadar, ia menggunakan ‘alat ukur’ tersebut untuk
menilai orang lain di sekitarnya (yang satu bidang dengannya). Apabila ia
bertemu dengan seorang seniman di perusahaannya, namun ia merasa tidak cocok
dengan seniman tersebut, itu karena ia merasa bahwa dirinya ‘terlalu biasa’ (artinya
seniman tersebut memiliki sesuatu yang Se Hee tidak miliki dalam dirinya). Dapat
dilihat bahwa Se Hee merasa terintimidasi dengan seniman tersebut.
Contoh lain, Se Hee mengatakan pada
psikiaternya bahwa ia memiliki obsesi yang sangat parah terhadap penampilan. Ia
merasa ia memiliki kepercayaan diri yang rendah dan itu berhubungan dengan
wajahnya. Karena ia menganggap bahwa dirinya tidak berpenampilan menarik dan hal
tersebut membuat orang-orang tidak menyukainya, secara tidak sadar ia memandang
dunia sebagai ajang kontes kecantikan (di mana pada ajang ini ia merasa kalah).
Akibatnya, respon orang lain akan ia hubungkan dengan penampilannya. Contohnya,
ketika Se Hee pergi bersama teman perempuannya untuk bertemu seorang teman
laki-laki, kemudian teman laki-laki tersebut memuji teman Se Hee yang terlihat
cantik (dalam kasus ini, See He tidak mendapat pujian), Se Hee akan berpikir
bahwa itu berarti dirinya tidak secantik temannya.
Karena Baek Se Hee merasa dirinya lemah dalam
bidang sastra atau payah dalam penampilan, ia merasa harus menetapkan standar
tinggi untuk dirinya. Namun di saat yang bersamaan, ia mendiskualifikasi respon
positif dari orang terhadap dirinya (berkaitan dengan pola pikir penderita
distimia, istilah ini disebut disqualifying
the positive). Contohnya, ketika temannya memuji Se Hee yang terlihat
cantik saat memakai kacamata, ia langsung menyimpulkan bahwa ketika ia
menggunakan lensa kontak, ia terlihat tidak cantik. Segala respon positif
disimpulkan kembali sampai menjadi penilaian negatif.
3) Ambivalen.
Buku ini dibuka dengan definisi distimia
oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.Kj. Di dalamnya, terdapat delapan cara berpikir orang
yang mengalami depresi atau distimia. Salah satunya adalah ambivalensi. Dijelaskan
bahwa ambivalensi adalah memikirkan dan merasakan dua hal yang saling
berkontradiksi.
Baek Se Hee tidak suka ketika kolega
perusahaannya memperkenalkan Se Hee sebagai orang tercantik di perusahaan,
karena ujung-ujungnya pasti itu perihal penilaian terhadap penampilan, namun pada
waktu yang lain, Se Hee menginginkan validasi dari orang lain terhadap
penampilannya sendiri.
Baek Se Hee merasa cemas akan hubungan
pertemanannya, karena ia pernah mengalami kegagalan dalam menjalin pertemanan
saat ia kuliah. Namun, di saat yang sama ia melakukan hal-hal yang menjauhkan
dirinya dari teman dekatnya tersebut.
Baek Se Hee ingin mencintai dirinya
sendiri dengan menerima diri apa adanya, di sisi lain ia menetapkan standar
yang terlalu tinggi yang sulit dicapai.
Baek Se Hee sangat ingin menghabiskan
waktunya sendirian, namun secara bersamaan ia tidak nyaman dengan kesendiriannya.
Aku sendiri merasa relate dengan ambivalensi Baek Se Hee. Jadi, setelah aku membaca dua pikiran yang berlawanan namun tetap diusahakan ini, aku harus
lebih rajin mengingatkan diri sendiri. Mari kita bergandengan tangan untuk
saling mengingatkan. Semoga selanjutnya kita lebih konsisten dalam hidup. Amen.
Akhir kata...
Aku senang,
akhirnya reading list-ku centangnya
bertambah.
Yang aku rasakan ketika membaca buku ini, aku cukup kewalahan karena sudut pandangnya
ada dua, yaitu si Baek Se Hee dan si psikiater, ditambah dengan konflik Baek Se
Hee yang rumit dan fluktuatif. Meskipun begitu, aku menikmati alur ceritanya.
Tidak jarang aku bergumam “I feel it too,
Baek Se Hee. I get it, don’t worry we’re in this together” atau kadang “Aduh jangan mikir gini dong woi.” Nasehat dari psikiater juga kurasa penting untuk dipahami, cukup aplikatif dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani.
Secara keseluruhan, aku merekomendasikan
buku ini untuk dibaca khalayak umum. Karena informasi tentang pentingnya kesehatan
mental tersirat jelas di buku ini. Lewat buku ini juga, kita bisa belajar
banyak dari penderita distimia tentang bagaimana cara dia berjibaku dalam satu
hari dan menyambut hari lainnya. The struggle is real for them. Buku ini seru untuk dibaca, jadi, masukin ke reading list kalian juga, ya!
Xoxo,
Indi.
P/S: Baca juga daring-daring yang tersedia di artikel ini ya. Makasih sudah mau berkunjung dan baca sampai sini, aku sangat mengapresiasi! Jangan sungkan kritik tulisanku, ya, kasih saran juga sangat dipersilahkan. Muah.
0 Komentar