Hari pertama di bulan desember diwarnai dengan dua orang yang sedang berdebat ringan di sebuah restoran cepat saji, mereka duduk di sebelahku. Pun aku berusaha untuk tidak memedulikan mereka, aku masih bisa mendengar percakapannya.
Mereka membicarakan bisnis, skripsi, hingga buku tabungan. Lagi-lagi aku jadi disadarkan, setiap orang punya porsi masalah mereka sendiri. Tidak bisa dipungkiri, aku langsung menempatkan diriku di sepatu mereka, membayangkan betapa seriusnya percakapan tentang kehidupan yang serba sulit ini, sampai-sampai es di dalam minumannya meleleh, sampai minumannya tidak manis lagi.
Meskipun kedengarannya masalah mereka begitu riweuh, tetapi intinya tetap satu: mereka sebetulnya membicarakan bagaimana langkah-langkah agar hidup menjadi lebih mudah.
Di sebelah sana, beberapa mahasiswa pendidikan dokter sedang belajar keras karena dengar-dengar besok mereka akan ujian. Beberapa sudah selesai, beberapa sudah bermain gawai, beberapa masih sibuk membaca powerpoint di laptop, berusaha menempelkan semua informasi ke dalam memori dalam waktu sehari. Tidak peduli memori jangka pendek, memori kerja, atau memori jangka panjang. Yang penting memorinya dapat dipanggil kembali ketika ujian nanti.
Sementara itu, orang-orang yang duduk beberapa kursi di belakangku ada anak-anak muda yang tertawa lepas—kelihatannya mereka sedang menitipkan masalah hidup mereka ke Tuhan—membicarakan hidup dengan enteng, banyak canda tawanya. Memang tidak salah, berkumpul dan bertukar pikiran dengan teman selalu menjadi obat yang cukup ampuh untuk mengistirahatkan diri sejenak dari masalah.
Wanita yang duduk di depanku, ia sedang sibuk dengan laptop dan buku tebalnya sendirian. Asumsiku ia sedang mengerjakan tugas. Semangat ya, mba. Kamu pasti bisa.
0 Komentar