Wah sudah pertengahan November! 2020 is coming to an end, guys. How ya feel so far? Semoga masih tetap positif tentang masa depan ya. Kalau aku, perasaanku sejauh ini tentang 2020 sudah diwakili oleh tweet Kak Boby Andika:
Aku bukan tipe orang yang tiap tahun punya resolusi (I don't know if this is good or bad but I think it's kind of... bad? In a way? We'll talk about this later). Tapi akhir tahun 2019 aku pernah pengen ngunggah setidaknya satu tulisan di medium(dot)com. Apakah ini termasuk resolusi? Tapi dadakan banget kaya tahu bulat soalnya baru kepikiran pas akhir tahun. Jelas ngga keburu dan ngga tau mau nulis apa. Akhirnya ambisi itu ngga terpenuhi dan saat ini aku memilih loyal sama blog ini aja, selain lebih bebas juga ngerasa aman untuk cerita pengalaman-pengalaman dan opini pribadi.
So for 2020, surviving is enough and I am so grateful every single day for still breathing oxigen. And last point is so accurate:
"It's hard to live without friends, but it's even harder to find friends you can trust."
- Boby Andika (2020).
I have few friends that I can trust (I love them so much xx), but sometimes I find myself uneasy to start talking to them about my daily struggles because I know that they also have their own battles that I probably don't know about and I just don't want to bug them. :(
Kembali ke topik. Beberapa minggu yang lalu, aku baca-baca buku dalam rangka ujian tengah semester, terus aku dapet bahasan yang menarik tentang kognisi manusia; bahwa cara kita berpikir itu bisa mempengaruhi bagaimana kita bertindak, merespon kejadian-kejadian dalam hidup, berinteraksi dengan manusia lain, sampai mempengaruhi persepsi kita tentang masa lalu, saat ini, dan masa depan. Kok bisa ya?
Misalnya, beberapa hari yang lalu ada ujian matematika dan ceritanya hari ini hasilnya udah keluar. Aku dan si Budi sama-sama dapet nilai 70. Buat aku, nilai 70 itu udah lebih dari cukup dan aku ngerasa fine aja. Sedangkan Budi yang sejak lahir sudah jago matematika dan langganan juara umum, menurut dia dapet nilai 70 tuh serasa dunia bentar lagi mau kiamat. Budi langsung stres dan ga makan 3 hari. Apakah nilai 70 itu yang bikin Budi stres? Nope. Yang bikin Budi stres itu adalah persepsi dia tentang nilai matematika.
Bisa aja Budi menganggap bahwa nilai matematika itu besar maknanya bagi dia (entah kaitannya dengan sense of achievement atau pencapaian, joy atau kesenangan, atau kepuasan), bahwa standar keberhargaan nilai matematika antara aku dan Budi itu berbeda. Perbedaan persepsi antar manusia itu wajar (banget) adanya. Yang tidak wajar adalah kalau persepsi seseorang sampai berdampak buruk ke tindakannya (dalam hal ini Budi yang mogok makan dan membahayakan kesehatannya akibat responnya terhadap nilai matematika).
Credit: @kittishdraws on TikTok |
Karena pikiran manusia ternyata se-powerful itu, aku rasa penting untuk bisa ngebedain cara berpikir yang berdampak baik dan mana yang engga. Perlu dicatat bahwa ini berbeda dengan logical fallacy (sesat pikir logis) ya, karena kalau logical fallacy itu lebih ke premis benar-salah, berkaitan dengan penalaran, fakta-fakta empiris, dan sifatnya objektif. Sedangkan sesat pikir yang akan aku bicarakan sekarang itu sifatnya sangat subjektif dan lebih fit ke standar rasional-tidak rasional.
Salah satu ciri-ciri utama dari cara berpikir yang buruk adalah sifatnya absolut. Absolut yang artinya mutlak dan ga bisa diganggu gugat. Ciri-ciri lainnya adalah mudah merusak ketenangan batin kita sendiri. Harapanku, dengan mengenal cara-cara berpikir yang negatif ini setidaknya kita (aku, kamu, kita semua) sadar bahwa berpikir dengan cara seperti ini ngga akan berdampak baik untuk kita sendiri. Cara berpikir yang buruk tuh ada apa aja sih? Cekidot.
Catastrophizing
Diambil dari kata catastrophe yang dalam bahasa indonesia artinya bencana besar, orang dengan cara berpikir catastrophizing cenderung yakin bahwa hal yang terburuk akan terjadi. Contoh sederhana dan paling umum adalah ujian.
Contoh:
Ceritanya besok aku mau ujian, tapi aku malah mikirin kemungkinan terburuk yang bisa aja terjadi, misalnya dapet nilai D. Bukannya memotivasi aku untuk banyak-banyak baca supaya kemungkinan itu ngga terjadi, aku malah melebih-lebihkan pikiran negatif ini. "Kalo aku dapet D, aku bakal remed. Kalo aku remed, aku harus ngulang semester depan. Kalo aku ngulang, lulusnya bakal lebih lama. Bakal susah dapet kerjaan, ujung-ujungnya jadi pengangguran, TIDAAAK!" Lalu berujung pada meyakini bahwa "buat apa aku nyoba lebih keras? Toh ujung-ujungnya aku bakal gagal." Terus jadi cemas atau sedih, pesimis ngerasa bahwa masa depan itu suram, dan perasaan-perasaan negatif lainnya.
Mungkin kamu pernah denger kata-kata bijak "pikirkan yang terburuk, lakukan yang terbaik". Nah, orang dengan cara berpikir ini hanya sampai pada titik "pikirkan yang terburuk" aja dan ngga melakukan sesuatu untuk mengurangi kemungkinan hal buruk itu akan terjadi. Sebaliknya, mereka jadi pesimis dan malah ngga ngelakuin apa-apa karena sedari awal udah yakin bahwa hal buruk itulah yang memang akan terjadi.
Negativizing
Kata kuncinya adalah negatif. Orang dengan cara berpikir negativizing memandang sesuatu dari aspek negatifnya dan hanya fokus dengan itu. Ibaratnya, quotes-quotes yang berbunyi "Segala sesuatu pasti ada hikmahnya; pandanglah masalahmu dari sisi positif" dan semacamnya udah ngga mempan untuk orang ini.
Contoh:
Dulu waktu SMA aku pernah beberapa kali ikut kompetisi debat. Di suatu kompetisi, aku gagal masuk grand final. Alhasil, dengan cara berpikirku yang negativizing ini aku akan ngerasa gagal banget jadi debater yang baik. "Seharusnya kegagalan itu ngga terjadi kalo aku latihan lebih keras lagi" "Aku ga akan bisa jadi debater hebat kalo gini ceritanya" dan sebagainya. Intinya, aku cuma fokus ke kegagalanku aja dan ga bisa ngambil hikmahnya, semisal "Walaupun ga lolos grand final, masuk quarter final aja sebenernya udah cukup baik kok, next time berarti latihan lebih sering dan lebih giat lagi."
Bisa dibayangkan kalau cara berpikir negativizing ini akan membuat seseorang jadi sulit menelan pahitnya kenyataan (yang tentunya ga selalu berjalan sesuai keinginan kita), dan membuka diri terhadap perspektif lain yang lebih positif dan membangun. Kita jadi berkubang dalam lumpur negativitas tanpa (mencari) tahu gimana caranya untuk keluar dari kubangan itu.
Control fallacy
Orang dengan control fallacy berpikir bahwa semua hal berada di bawah kendalinya. Kalau kalian pernah baca postinganku yang membahas tentang people's pleaser, di dalamnya aku bahas sedikit tentang dikotomi kendali, yaitu hal-hal dalam hidup yang bisa dan tidak bisa dikendalikan. Control fallacy ga ngijinin kita untuk menerima fakta bahwa di hidup ini, ada banyak hal yang memang ga bisa kita kendaliin.
Contoh:
Balik lagi ke si Budi yang dapet nilai 70 tadi. Budi ga akan stres dan mogok makan sampe 3 hari kalo dia paham bahwa nilai yang bagus itu sebetulnya di luar kendali dia. Mungkin Budi bisa nyari pembenaran bahwa seharusnya dia dapet nilai sempurna karena selama seminggu penuh dia udah belajar dari pagi ke pagi. Tapi faktor-faktor untuk dapetin nilai sempurna ga semata-mata belajar yang giat, ada faktor lain yang bakal ikut mempengaruhi nilai kita. Misal waktu pengerjaan soal, kondusivitas suasana ujian, belum lagi eror-eror kita dalam menghitung atau eror-eror soal yang dibikin guru.
Kalo si Budi bisa legowo menerima bahwa ada faktor lain yang ga bisa dia kendaliin, niscaya respon Budi akan lebih positif daripada stres atau mogok makan 3 hari. (Pesan moral: Baca Filosofi Teras)
Musterbation
Di atas udah aku sebutin kalo salah satu ciri-ciri cara berpikir negatif adalah mutlak. Orang bakal cenderung kaku dan sulit menerima perspektif baru untuk memandang sesuatu. Musterbation ini kata kuncinya must yang dalam bahasa indonesia artinya harus. Singkat cerita, orang dengan cara berpikir musterbation ini yakin bahwa dia 'harus' melakukan sesuatu, 'harus' menjadi ini itu karena ada konsekuensi negatif yang mengikuti.
Contoh:
"Aku harus dapet A di semua mata kuliah. Kalo ngga, mampuy lah. I'm in big trouble." Atau, "Presentasi besok harus sempurna. No mistakes. Kalo ada satu aja kesalahan, kelar idupku. Malu semalu-malunya, orang lain pasti bakal benci sama aku."
Kita perlu sadar dan paham bahwa tubuh bisa bereaksi sesuai dengan imajinasi kita. Contoh sederhana deh, coba bayangin kamu lagi ngunyah samyang atau makanan pedas favoritmu, biasanya respon fisiologis yang kamu rasakan adalah lidahmu tiba-tiba bergejolak and look, your mouth is watering already. Sama halnya kalo kita mikirin kejadian buruk, perasaan yang muncul kalo ga cemas ya respon fisiologis kaya jantung yang berdegup kencang, perut yang tiba-tiba mules, dan lain-lain.
Joseph Wolpe (1915-1997) adalah salah satu terapis yang ngembangin teknik terapi kognitif yang tentunya fokus mengubah cara berpikir klien yang ga rasional ini ke cara berpikir yang lebih rasional dan adaptif (fleksibel dan tidak kaku). Menurut Wolpe, manusia ngga bisa ngerasain dua perasaan yang berlawanan dalam satu waktu. Contohnya, kita ga akan bisa rileks dan cemas di saat yang bersamaan. Jadi jangan percaya kalo ada orang yang ngomong "aku kok santai tapi tegang ya?" Ya ga gitu mainnya bos, tegang ya tegang aja.
Karena itu, Wolpe percaya (dan sudah terbukti lewat banyak banget terapi yang dia praktikkan) bahwa manusia bisa belajar respon emosional baru terhadap suatu peristiwa. Contohnya, yang tadinya tiap menjelang ujian responnya selalu cemas (akibat asumsi-asumsi negatif yang dia ciptain sendiri tentang ujian itu), bisa dilatih untuk merespon ujian dengan deep relaxation dan tentunya bersamaan dengan pikiran-pikiran yang lebih positif, misalnya "ga apa-apa kalo misalnya dapet nilai kecil, yang terpenting adalah aku udah berusaha semampuku. Pada akhirnya aku bakal baik-baik aja."
Source: www.pinterest.com |
Segitu dulu ya. Kemungkinan besar akan ada part 2-nya karena cara berpikir irasional ini banyak jenisnya.
Aku cukup yakin bahwa tidak sedikit dari kalian yang akan dengan mudah relate atau minimal paham dengan penerapan empat istilah di atas di kehidupan sehari-hari, entah itu terjadi di diri kita sendiri atau temen, atau keluarga. Sama kaya fenomena ketika kamu mau ambil garpu di ruang makan buat mam indomie, tapi sampe ruang makan kamu lupa mau ngapain. Terus balik ke kamar lagi. Terus kamu liat indomie kamu di meja belajar, terus baru inget tadi ke ruang makan harusnya ambil garpu. Itu ternyata ada istilahnya, namanya doorway effect. Faedahnya apa ya tau nama keren dari suatu fenomena kehidupan yang umum terjadi? Hmmm. Ya, mungkin dengan ada istilah khususnya, eksistensinya juga jadi makin jelas, dan mungkin supaya lebih gampang dikategoriin aja.
Terus tindak lanjutnya apa, nih, kalo semisal kita udah menyadari bahwa selama ini ternyata beberapa cara berpikir kita berdampak buruk ke kehidupan sehari-hari?
Menyadari bahwa ada sesuatu yang salah adalah langkah awal untuk memulai perubahan. Karena kalo ga sadar ya gimana kita tau aspek apa dari diri kita yang musti diubah. Langkah selanjutnya adalah melakukan sesuatu yang mendukung perubahan itu. Pelan-pelan, bertahap.
Tapi...
Tentu saja...
Tidak semudah itu...
Ferguso... (bringing back old joke)
Kalo dirasa selama ini cukup mengganggu dan kamu belum nemu mekanisme coping yang oke, sok atuh ke profesional. Konseling online bertebaran semenjak pandemi. Tapi kalo kamu ngerasa bisa handle sendiri tanpa perlu ke psikolog atau konselor, do it. I'm here rooting for you. Best of luck!
Akhir kata, manusia terkadang memang ga bisa untuk selalu berpikir positif, ada saat-saat di mana kita akan berpikir negatif tentang suatu hal. Wajar. Justru akan lebih bagus kalo dengan berpikir negatif kita jadi bisa ngantisipasi kemungkinan buruk yang bisa aja kejadian. Kalo memaksa diri untuk berpikir positif terus-terusan, ada kemungkinan kita jadi sulit menerima realita negatif yang sudah terjadi. Kalo negatif terus-terusan, ya cemas, stres, sampai berisiko depresi. Yang terpenting adalah menyeimbangkan kadarnya.
Wow, aku baru saja menggambarkan diriku sebagai manusia bijak. Aminin bareng-bareng aja yok.
P/S: You know that when I write something, the topics are most likely about my own issues. Jadi aku juga lagi berjuang untuk melawan perkataan-perkataan negatif yang aku tujukan pada diriku sendiri. Sampe sekarang umur udah 20. So it doesn't mean that I'm an expert or something, I'm just sharing, xoxo.
My references:
Erford, B. T. (2015). 40 Techniques Every Counselor Should Know, 2nd Ed. Pearson Education.
The Psychology Book: Big Ideas Simply Explained.
Talented writer! Jujur bangga dan keren punya temen penulis seapik ini wkwkwk, pasti akan jadi psychologist yang baik nanti kamu ndi, aku doainn, aminn!!
BalasHapusHai! aminnn makasih banyak doanya my dearest unknown (siapakah dirimu aku jadi penasaran tapi kayanya kita temenan di whatsapp karna aku update di sana) makasih banget udah berkunjung ke blog ini, sangat aku apresiasiii 🥺 sehat selalu, God bless you!
Hapus