Coba pikirin satu atau lebih aktivitas lo dalam hidup ini yang merepresentasi kata bebas.
Udah? Nanya lagi deh, kenapa lo
mengkategorikan aktivitas-aktivitas itu sebagai kebebasan? Silahkan renungkan
sendiri ya.
Kalo lo tanya gue, aktivitas yang
memungkinkan gue untuk menjadi bebas
adalah ngeblog. Kenapa? Karena di blog ini gue bebas nulis apa aja yang gue
rasakan atau pikirkan tanpa ada seorangpun yang finger-pointing gue, menginterupsi, dan/atau menghakimi sudut
pandang gue. Gue ngunggah tulisan baru kalo lagi mood aja, ga ada tenggat waktu. Ga ada yang secara eksplisit menilai dan memberi bobot tulisan
gue dalam bentuk angka. Dan kalaupun ada, ya ngga apa-apa, gue siap nerima.
Poin pentingnya adalah, gue nulis di blog ini bukan untuk nyari pengakuan (ga
usah naif deh kadang-kadang iya tapi bukan tujuan utama). Gue nulis untuk
menyenangkan diri gue sendiri, bukan orang lain (tapi kalo orang lain senang
berkat tulisan gue, gue juga pasti akan senang, kok). Intinya, I’m being self-centered here, and it’s so
much fun.
I please my own self through blogging, because I know already that in
real life I’ve been putting someone else above me, like all the time.
But, I’m currently taking baby steps to learn saying no when I feel
like it, especially when I know my limit.
Belakangan ini, tema kontemplasi gue adalah tentang kenapa selama ini
gue sehaus itu akan pengakuan dan setakut itu untuk ga disukai orang. Selama
ini, gue udah jenuh dengan cara mikir gue yang condong ke determinisme ini,
bahwa semua kekurangan yang ada di gue adalah akibat masalah-masalah hidup gue
di masa lalu. Oleh karena itu, gue selalu punya sesuatu atau seseorang untuk
gue salahkan atas kemalangan gue ini. Klasik ya. Lalu di suatu hari yang kelam,
gue sadar kalo selama ini gue udah terbiasa untuk memvalidasi kekurangan gue sendiri.
Kurang lebih kaya gini:
“Ya gimana mau percaya diri sama
penampilan? Gue aja dari kecil udah di-bully
terus karna gue jelek. Ya wajar dong kalo sekarang jadi ga pedean.” (Secara implisit gue nyalahin
si tukang bully).
“Ya gimana ngga gemeter kalo
ngomong depan umum? Waktu kecil kan gue sering dibentak depan orang-orang.”
(Secara implisit gue nyalahin orang-orang yang pernah bentak gue di ruang
publik).
“Ya gimana bisa percaya buat open up ke orang lain? Gue dulu pernah
cerita sesuatu yang cukup privat tapi ujung-ujungnya dibocorin juga.” (Secara
implisit gue nyalahin orang (terdekat) gue yang pernah bocorin isi curhatan gue
ke subjek curhatan gue).
“Ya gimana ngga jadi people’s pleaser? Gue cape kali
dibanding-bandingin dan selalu dianggap kurang, gue kan pengen sekali-sekali bikin
orang puas dengan apa yang gue lakukan, meski dengan begitu gue jadi kurang
memperhatikan diri gue sendiri. Ya ga masalah selagi orang lain happy berkat gue. (Secara
implisit gue nyalahin orang yang pernah banding-bandingin gue).
Dan banyak lagi. Cape ga sih idup
lo menyimpan dendam kaya gini? Gue kemudian mikir, apa memang pribadi setiap orang
itu semata-mata hasil dari kualitas hubungan interpersonal dan kejadian-kejadian
di masa lalu ya? Bisa ngga sih seseorang bebas dari belenggu itu? Bisa ngga sih
suatu saat nanti, gue, dengan kepercayaan diri yang akhirnya berkembang dengan
baik, ngomong di depan ribuan orang dengan detak jantung yang nyantai? Bisa
ngga sih di kemudian hari gue betul-betul stabil secara mental? Dan segala what-ifs yang saat itu memungkinkan
untuk gue pikirin.
Jujur aja gue ngomong via Zoom Meeting aja masih keringet dingin,
gaes. Hahaha. And that feels suck I wanna
be confident, what does it take to be one? Of course nyalahin orang ga akan bawa gue ke mana-mana kan.
Gue sedang ada di
titik di mana gue lelah mengejar pengakuan dan hidup berdasarkan ekspektasi
orang-orang. Ternyata selama ini gue ngga pernah betul-betul bebas.
(🎵Now playing: Ezra Furman - I Can Change)
Ada sesuatu yang seharusnya
diajarkan sejak kita mulai berusaha memahami dunia dan seisinya, bahwa kita tidak akan pernah bisa menyenangkan
semua orang. Ga peduli sebesar apapun usaha yang kita kerahkan, akan tetap ada
orang di luar sana yang ga suka sama kita atau sama hal yang kita lakukan. Sebuah
kenyataan yang pahit memang, tapi ini tuh normal-normal aja ternyata.
Seperti yang pernah gue sampaikan
di postingan gue yang ngerangkum tentang people’s
pleaser (Klik di sini kalo tertarik buat baca): Persepsi orang lain
terhadap kita itu berada di luar kendali kita, dan sama sekali bukan tanggung
jawab kita untuk bikin orang lain senang. Dan ternyata, Alfred Adler juga punya
istilah yang kurang lebih sama dengan gagasan tersebut. Namanya separation
of tasks.
Let’s break it down.
Secara sederhana, separation of tasks artinya bisa
ngebedain yang mana tugas kita dan
mana tugas orang lain. Bukan cuma ngebedain,
tapi juga tidak ikut campur dan bahkan mengambil alih tugas yang dimiliki orang lain. Cukup fokus sama tugas kita sendiri aja, niscaya hidup
akan terasa lebih ringan.
Sekarang kita bahas apa yang Adler
maksud dengan tugas. Pahami dulu
kalau tugas yang dimaksud itu bukan tugas individu atau kelompok yang dikasih
guru atau dosen, bukan tugas dari presiden untuk menteri. Adler menyebutnya
sebagai Life tasks atau kalau
diindonesiakan jadi tugas kehidupan. Tugas kehidupan ini erat kaitannya dengan
hubungan interpersonal ya. Artinya, selalu ada keterlibatan orang lain dalam
ketiga tugas kehidupan ini. Adler bahkan mengklaim bahwa setiap masalah adalah masalah hubungan interpersonal. We’ll get to that later.
Menurut Adler, ada tiga tugas
kehidupan yang kita hadapi dalam hidup, yaitu:
1) Tugas pekerjaan (tasks of work)
2) Tugas pertemanan (tasks of friendship)
3) Tugas percintaan (tasks of love).
Makin bingung? Gapapa, cepat atau
lambat lo pasti bakal paham kok. Pertama-tama, kenapa urutannya dari work, friendship, baru ke love? Karena urutan menjelaskan tingkat
tantangan yang diberikan oleh tugas kehidupan itu sendiri. Tasks of work tantangannya berada di tingkat terendah, sedangkan
yang tertinggi adalah tasks of love (most
njelimet).
Let’s make it simpler, tujuan dari pemisahan tugas kehidupan adalah
supaya kita cukup musingin urusan kita sendiri dan ga perlu ambil pusing sama
urusan orang lain. Untuk setting the
boundaries (mengatur batasan sampe mana lo bisa ngatur orang dan begitupun
dengan sejauh mana orang lain bisa ngatur lo).
Terus misalnya sekarang lo mikir,
sepandai-pandainya psikolog menjadi pendengar bijak, pasti akan tetap punya
masalah juga kan ya di hidupnya. Terus buat apa psikolog musingin masalah hidup
orang lain? Dibayar pula? Oke, ini udah masuk ke contoh ya.
Katakanlah konteksnya tasks of work alias masalah hubungan
interpersonal di lingkungan pekerjaan. Subjeknya adalah psikolog yang punya
klien suicidal, punya kecenderungan
untuk bunuh diri dan udah 2 kali percobaan (oke, ini agak ekstrem). Tentu saja
psikolog boleh khawatir kalau suatu saat percobaan bunuh diri klien berhasil,
tapi bukan berarti jika kemudian kliennya betul-betul ngelakuin hal itu, itu
jadi salah si psikolog. Kalo si psikolog mikir "harusnya dia ga ngelakuin itu" artinya si psikolog berusaha untuk ikut campur atas keputusan kliennya.
Sampe sini, what do you think?
Separation of tasks-nya Eyang Adler minta kita untuk mikir kaya
gini:
Tugas si psikolog adalah memberi dukungan emosional dan membantu klien untuk mengurai benang kusut di pikiran si klien. Psikolog hanya bisa membantu klien sampai tahap di mana klien berhasil menemukan solusi dari konflik yang sedang ia hadapi. Dalam arti lain, si klien sendirilah yang ‘bertugas’ untuk mencari jalan keluar dari masalahnya. Cukup jelas ya tugas masing-masing psikolog dan klien. Jika skenario terburuknya adalah si klien mengakhiri hidupnya, itu adalah memang ‘tugas hidup’ klien karena klien sendiri yang memutuskan, seberapa besarpun usaha psikolog untuk mencegah hal itu. Psikolog tidak bertanggung jawab atas keputusan klien tersebut.
Okay that was tough.
Contoh lain, misalnya gue punya
anak kelas satu SD. Gue harus bisa membedakan mana tugas gue sebagai orang tua
dan mana tugas dia sebagai siswa. Sebagai siswa, udah sewajarnya tugas anak gue
adalah belajar. Sebagai orang tua, ketika gue udah maksa anak gue untuk belajar
dan bahkan ngehukum dia kalo ga mau belajar, artinya gue udah ikut campur sama
tugas si anak.
“Eh tapi kalo gue jadi emaknya,
gue ga peduli! Gue bakal maksa anak gue biar belajar, biar dia pinter di
sekolah! Even if it takes me to
physically or emotionally abuse him/her. Gue akan bentak anak gue kalo dia
ngeyel, gue ga akan segan jewer kupingnya kalo bandel. Dia juga harus paham
kalo ini tuh demi kebaikan dia!”
Well, mom, dad, kalo skenarionya kaya gitu, kalian ga cuma ikut
campur sama tugas anak kalian tapi juga egois. Mungkin mikirnya kalo anak
belajar sesuka hati atau ga belajar sama sekali adalah tindakan egois si anak.
Padahal ya harusnya suka-suka dia mau menghadapi ‘tugas’ dia (which is belajar) kaya gimana.
Konsekuensi ga naik kelas atau dapet ranking rendah itu juga konsekuensi anak kalian yang dia harus hadapi sendiri. (Iya paham kalau kalian bakal nanggung malu dan
label ‘orang tua gagal’ juga, tapi bukankah itu cukup egois untuk mikirin reputasi diri sendiri dibanding kesehatan mental anak?).
Semoga sampe sini paham. Tugas kita sebagai orang tua adalah sebatas mengingatkan bahwa “Nak, kamu adalah siswa kelas satu SD, yang artinya kamu punya tugas untuk belajar. Kalau kamu mau belajar yang rajin, kamu akan naik kelas. Kalau kamu malas, bisa jadi kamu ngga naik kelas. Tapi kalau kamu kesulitan dan butuh bantuan mamah, tinggal bilang ya, mamah berusaha untuk selalu bantu.” Dengan begini, anda sebagai mamah udah ngatur batasan yang jelas bahwa tugas anda hanya sebatas membantu anak tiap dia kesulitan, not bossing your kid around dan bentak sesuka hati kalo dia ga mau belajar. Try to separate yours and their tasks.
Ngomongin cinta-cintaan, kurang
lebih sama. Lo gabisa nyuruh orang untuk cinta sama lo. Semisal lo pacaran 15
tahun lamanya dan pacar lo ketauan selingkuh tepat satu bulan sebelum akad, listen,
it has nothing to do with you. Pacar lo selingkuh itu masalahnya ada di
dia, bukan di elo. Memang akan ada kemungkinan besar lo jadi trauma untuk
memulai hubungan baru, atau jadi introspeksi diri selama ini apa yang kurang
dari elo semasa pacaran, terus ujungnya nyalahin diri sendiri. No, just stop it right there. Kalo
kemudian lo ngomong ke pacar “kamu harusnya bisa ngatur ego kamu! Kamu harusnya bisa lebih bijak lagi!” Dan lain-lain, ini lo lagi berusaha untuk ngambil alih tugas
dia. Dalam tasks of love, tugas setiap orang hanya satu: mencintai. Sekarang tinggal pilih, mau mencintai orang yang mana? Yang bikin kita selalu mempertanyakan apakah dia cinta kita juga atau engga? Nah.
Kesimpulannya balik lagi ke awal, kita ngga bisa
bikin semua orang suka dengan kita dan apa yang kita lakukan. Ga peduli sebaik
apapun usaha kita dari segi moral dan sebesar apapun dari segi material. Tapi
bukan berarti dengan pemikiran kaya gini kita jadi punya free pass untuk jadi orang
yang nyebelin dan jahat ke orang lain. Itu kasusnya beda lagi. Itu mah kita
sengaja bikin orang ga suka sama kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita
bisa berdamai dengan kenyataan bahwa ada beberapa orang di luar sana yang memang ga
suka aja sama kita, and it’s fine. Toh juga pasti ada beberapa orang dalam hidup kita yang ga kita sukai. Kalo
gue, sederhananya memaknai bahwa kalo kita hidup hanya berdasarkan ekspektasi orang
dan hanya bertujuan untuk bikin orang lain suka sama kita, semua tindakan kita pemicunya ya cuma dari orang
lain. Artinya, kita ngga bebas ngelakuin
apa yang kita mau dan apa yang menurut kita baik buat diri sendiri. Orang mau suka atau ngga suka sama kita, itu udah masuk ke tugas mereka, urusan mereka, suka-suka mereka.
Misalkan ada presiden blusukan ke
dusun lo, lo pengen impress presiden dengan
membersihkan sungai di dusun lo yang bentukannya udah kaya es kopi susu. Eh tapi
presidennya ga muji dan memberi lo pengakuan, doi bahkan ga ngebahas kondisi
sungai yang bersih berkat usaha dan keringat lo seorang (karna anggep aja presiden
lo mikir kalo kondisi sungainya memang dari dulu seperti itu ya, hahaha). Ini kalo
tujuan hidup lo hanya mendapat pengakuan presiden, lo pasti bakal balikin
sungainya ke kondisi es kopi susu. Instead, kalo lo cukup berani untuk menerima
fakta bahwa the president doesn’t give a shit
about your hard work and you’re okay with it, you’ll eventually smile at the river and keep it clean.
Kenapa sih contoh gue gaada yang
bener dari tadi. Tapi intisari dari tulisan ngalor ngidul ini: Do whatever shit that makes you happy and
content as long as you don’t intervene other people’s tasks of life in the
process. HAHAHA.
Ladies and gentlemen, it is very obvious that these are easier said
than done. I’m also struggling. Semangat!
![]() |
Source: Giphy.com |
Di dalam bukunya yang berjudul
The Courage to be Disliked, Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menyampaikan teori
psikologi individual oleh Alfred Adler dengan cara yang unik dan cukup mudah
dipahami. Highly recommended! Menurut
gue juga akan jauh lebih mudah dipahami kalau kita setidaknya paham konsep stoikisme
(Filosofi Teras) terlebih dahulu.
Supaya lebih manis kaya yang lagi baca, gue tutup dengan quote dari buku ini ya:
"You can lead a horse to water, but you can't make him drink."
Artinya: Kudanya ga haus, ngapain lo suruh minum.
Cheerio.
Sumber:
Ichiro Kishimi and Fumitake Koga – The Courage to be Disliked (2013)
Separation of Tasks – https://stoicanswers.com/2019/05/12/separation-of-tasks/
Hohoho....
BalasHapussukaaaaa banget baca post yang satu ini ≧ω≦
Jarang'' nemu tulisan yang kyk gini; frank, direct and fearless.
Kerasa banget feels 'be yourself' dari tulisannya, seakan-akan kyk dengerin orangny ngomong langsung.
Can't believe that witnessing someone's transformation and journey could be this exciting.. cool..
Keep up the momentum! Satey biwtipul :D
Hi again, Kak Michael!
HapusYou’re right, I was totally being me when I wrote this hahaha. Senang sekali kalau ada yang suka bacanya ^^ I’m so flattered and glad to hear that you’re excited to my blogging journey.
And hey! Thanks a lot for visiting, your comment’s always surprising. Catch you later 😝